Foto:Dokumentasi
Hari itu pertama kali aku ingin mengikuti sebuah organisasi kerelawanan. Terang saja aku masuk organisasi karena sudah bosan dengan waktu luangku yang teramat mengancam hidupku.
Semenjak pemagangan kuliahku berakhir di sebuah instansi kesibukanku tak ada lagi. Laporan magang yang menjadi momok menakutkan kebanyakan mahasiswa semester tujuh telah kuberikan pada ketua prodiku tanpa banyak perbaikan.
Ngomong-ngomong, tempat tinggalku tidak jauh dari kampus. Setiap hari kuputuskan saja untuk ke kampus sekadar menambah referensi proposal yang bakal jadi calon Skripsiku sebab telah di ACC oleh jurusan. Dalam jangka waktu 1 bulan, semua dapat ku rampungkan, namun sayangnya aku belum bisa langsung seminar karena jadwal seminar telah berahir seminggu sebelum proposalku di ACC. Itulah penyebabnya aku mencari kesibukan lain sembari menunggu jadwal seminar dan bisa melakukan penelitian untuk tugas akhirku.Membosankan memang, aku yang biasa disibukkan dengan organisasi di kampus harus bengong saja, main internetan kampus meskipun gratis membuat jenuh. Rasanya aku sudah menonton yang aku sukai di Youtube tapi waktuku terasa begitu sia-sia hingga suatu hari aku menemukan pendaftaran relawan di instagram.
Tak begitu menarik perhatianku, namun ada rasa ingin mencoba menjadi relawan. Bekerja tanpa mengharapkan apa-apa. Kedengarannya pun sangat membuatku berpikir ulang untuk mengabaikan ‘Relawan Nusantara’. Imajinasiku langsung sampai di Aceh, bagaimana aku akan siap siaga terhadap bencana seperti Tsunami atau di Palu.
Akhirnya, kubulatkan tekad untuk mendaftarkan diri menjadi salah satu dari calon relawan nusantara. Tak kusangka, ternyata setelah beberapa hari calon relawan digabungkan ke dalam sebuah grup whatsApp ada dua nama yang kukenal di sana. Satu nama teman satu kuliahku, satu lagi teman organisasiku yang lama.
Kulihat jadwal wawancara yang dibagi ke beberapa shif, dan nama teman organisasiku kebetulan sejadwal denganku. Sorenya, kami langsung menuju lokasi tepatnya kantor organisasi itu berada. Wawancara kujalani dengan penuh antusias. Ketika salah satu relawan di sana bertanya kenapa berminat bergabung menjadi relawan? Keningku berkerut. Tak ada yang keluar dari mulutku.
Sebut saja kakak cantik berhijab hitam, Nia. Di balik cadarnya ia menanyakan lagi, kalau ragu tak apa, nikmati saja prosesnya, jadi relawan itu tak sesulit yang dibayangkan, namun tak semudah yang dipikirkan, terangnya.
Aku berusaha keras menarik bibirku dengan dua sisi yang berbeda. Walaupun nyatanya tak tau kenapa aku sulit mengatakan, harusnya aku jujur sajakan, katakan bahwa aku ingin mengisi waktu luang.
Manusia jarang yang sepolos itu, segala cara kan ia tutupi sisi gelapnya, begitupun aku. Hal wajar bukan? Tiga hari setelah wawancara kami dilanjutkan ke pelatihan diksar.
Bermacam perlengkapan disuruh bawa oleh para panitia atau lebih tepatnya kusebut relawan nusantara. Mulai dari pluit, topi, sepatu kets, plastik bivak, tali pramuka,mantel, pisau, senter, pakaian untuk 3 hari, pakaian shalat, alat mandi, logistik, kompor dan alat masak sederhana dan keperluan lainnya.
Kami disuruh berkumpul kira-kira jam 1 siang. Puluhan orang yang mendaftar menjadi relawan hanya 13 orang yang berkomitmen mengikuti diksar, aku salah satu dari mereka. Entah kenapa, aku bahkan rela habis-habisan untuk diksar ini. Salah satu yang diperintahkan adalah memakai seragam orange. Tau saja, aku tak pernah suka warna itu makanya tak satupun dari pakaian ataupun hijabku berwarna orange. Namun, karena tak suka dimarahi dan melanggar aturan aku memutuskan untuk membeli baju orange, meski uang jajan yang selalu dikirim abangku dari kampung bakal terpotong.
Di bawah rintik hujan siang itu, kami para carel (calon relawan) mengikuti upacara pembukaan diksar. Kami sudah bersiap dengan mantel masing-masing yang dibawa. Upacara terus dilanjutkan, pembina upacara segera diberi payung oleh panitia lainnya, sedang mc pun demikian.
Sesekali mataku tak bisa bertahan menatap tanah. Ia mengembara menyaksikan buliran hujan yang menetes. Bulir itu jatuh dan memeluk tanah, sedang sang komandan upacara masih kukuh menyiapkan barisan dan segera membubarkan setelah pembacaan doa. Kami berangkat menuju lokasi diksar saat magrib menjelang.
Adzan berkumandang, shalat didirikan dan sebuah angkot yang dicharter khusus untuk kami telah terparkir di halaman kantor.
Kamipun berangkat perbincangan kecil terjadi di angot tersebut. Rata-rata mereka saling berkenalan dan mempertanyakan kelengkapan alat diksar. Sementara aku memilih diam dan tak begitu antusias dengan pembahasan mereka.
Sesampai di lokasi diksar, eh aku salah ternyata itu bukan lokasi diksar namun pos pemberhentian. Kami diperintah menyebutkan nama dan tanggal serta tahun lahir. Kami ditekankan untuk menghapal nama semua carel yang hanya 13 orang tersebut. Perutku mulai bernyanyi, kebetulan hari itu hari kamis dan semenjak sebelum adzan subuh berkumandang aku memilih makan dan segera menghentikannya ketika seruan itu menyebar ke seantero negeri.
Alhamdulillah beruntungnya kami disuruh makan, namun dengan logistik yang dibawa harus dibagi rata dengan waktu yang ditentukan. Kami lakukan itu dengan cepat dan tergesa-gesa. Apalagi suara panitia yang memerintah penuh dengan nada tinggi seolah yang kami lakukan adalah hal yang salah.
Terang saja perkiraanku benar, ada sesuatu yang telah di sediakan panitia diksar yakninya kami disuruh berjalan kaki lebih dari 3KM dengan jalan yang mendaki dan kami membawa ransel, bukan yang lebih tepatnya tas gunung yang berisi peralatan yang kami bawa. Sesekali hujan gerimis ikut menemani perjalanan yang tak singkat itu, 2 jam lebih kami berjalan hingga sampailah di tepi jalan. Aku sudah senang karena hampir sampai eh ternyata tempat diksar masih jauh, kami harus melewati hutan dan hujan masih menyambangi mantel yang kami pakai. Tapi setidaknya kami tidak lagi disuruh meneriakkan yel-yel.
Sesampainya di lokasi, kami diberi waktu istirahat barang sebentar dan bagi yang masu shalat dipersilahkan ambil wuduk di sungai. Sembari menikmati roti yang kami bawa, perintah selanjutnya datang.
Semua carel berkumpul, instruksi membuat tempat tidur sementara di dalam hutan diucapkan oleh koordinator lapangan (korlap). Korlap kami tegas, namun banyak peduli. Tapi hati-hati satu kali salah bisa diberi 1 seri. Satu seri itu ada 5 push up. Aku juga kena ini, bahkan bukan karena salah yang kuperbuat. Ada jengkel yang kurasa, tapi ini pilihan yang telah kuambil dan aku tak bisa meminta pulang malam itu juga.
Setelah menyelesaikan tempat tidurku yang dari plastik bivak itu dan memasukkan barang-barang ke dalamnya kami diminta membantu teman yang belum selesai. Kembali serine pertanda berkumpul dibunyikan, dengan sepatu yang belum terpasang, aku langsung buru-buru ke tempat panitia. Aku tak ingin ada kesalahan dan aku tak ingin ada hukuman. Mereka memberi beberapa peraturan dan semua telah disepakati.
Itulah, untuk pertama kalinya aku tidur di dalam hutan. Tanpa selimut, bantal ataupun kasur nyamanku. Kata mereka itu untuk latihan, karena relawan tidak diajarkan hidup dalam kenyamanan dan itu kuketahui setelah diksar berakhir. Sebelumnya banyak kejengkelan yang hanya bisa kusimpan. Kejengkelan lainnya adalah ketika beberapa di antara kami carrel perempuan ada yang membawa bedak dan lipstik. Kalian pikir relawan butuh yang seperti ini, brug aku sudah kepikiran bakal dikasih seri, bagiku bedak dan lipstik bukan untuk kecantikan tapi untuk menjaga kulit saja. Ah, mereka tak peduli alasan itu, mereka menyitanya dan hp juga selama 3 hari.
Diksar itu sedikit melelahkan, sudah tidur di tengah hutan, tak ada hp cuma senter dan jantung siap-siap untuk lemah karena kapanpun serine bisa berbunyi. Entah kenapa beberapa menit aku di dalam bivak, mataku sudah tertutup tak ada lagi yang ku dengar dan ternyata aku telah tidur. Suara sirine berbunyi deras 2 kali aku langsung buru-buru memasang hijab, kebetulan kutanggalkan saat tidur karena lumayan panas tak ada udara yang masuk. Kuambil senter dan mukena yang telah kusediakan di sebelah kanan tidur dan lari menuju titik kumpul. Bodohnya aku lupa membawa alquran aku kena 1 seri. Menyebalkan bukan, apalagi seteah kena seri aku disuruh kembali menjemput alquran. Dalam hitungan 10 semua harus kembali panitia, gila saja, hitungan ke 4 aku baru sampai bivak, belum lagi membukanya dan mencarinya, hitngan 10 aku masih 20 langkah lagi menuju tempat panitia.
Merangkak ke sini, suara lantang korlap membahana di hutan itu. Kesalnya hatiku, baru bangun dua hukuman telah kudapati, pikiran buruk merasukiku, bagaimana nanti siang Ahhh..
Pagi, sehabis shalat subuh, kami membaca quran bersama. Satu hal yang tak membuat hatiku memberontak mengerjakannya. Hingga jam 7 kami disuruh kembali ke tempat masing-masing dan sesudahnya berkumpul di lapangan. Kami melakukan senam dan peregangan. Kami disuguhi minuman berupa teh, ahh alhamdulillah pikiranku kembali positif dengan panitia.
Olahraga selesai, juga acara sarapan pagi dengan roti dan teh. Kami kembali disuruh membuka bivak dan segera memasukkan barang-barang ke dalam tas. Itupun ada waktunya, amat pendek kami pun diburu waktu. Setelah selesai kami diminta masak logistik yang kami bawa, sementara carel yang laki-laki mengambil air ke sungai. Mereka disuruh mandi karena akan mengerjakan shalat Jumat. Aku senang melihat panitia itu pergi dan mengerjakan kewajibanyya. Timbulah di pikiranku bahwa sebenarnya ini adalah organisasi relawan yang tak hanya memikirkan sosial tapi memikirkan akhirat. Aku semakin penasaran dan tertarik.
Baru saja aku berpikir positif, mereka membuatku berpikiran buruk lagi. Kenapa tidak, sehabis kaum adam itu menunaikan shalat kami di suruh meletakkan makanan yang kami masak di tenda. Tak dinyana, makanan itu mereka campur adukkan dengan logistik lain yang kami bawa. Makanan itu diaduk menjadi satu berbentuk menjadi bubur, pedasnya cabe, manisnya sereal, gurihnya mie instan berkolaborasi. Tak hanya itu, cara makan kami diatur, setiap hitungan 5 kami disuruh pindah tempat. Ditambah lagi waktu minum demikian dalam hitungan 10 semua anggota yang ikut makan harus dapat minum semua sedang hanya 1 botol minuman yang diberi. Oh tuhan, siksaan apa ini. Lidahku masih bisa menerima makanan itu tapi tidak dengan kerongkonganku. Beberapa kali aku dibuat mual oleh rasa pedas bercampur manis itu. Makanan itu harus habis, kalau tidak semua anggota akan kena hukuman. Bagiku itu tak adil, jika memang aku tak sanggup, maka mereka berhak menghukum aku tidak mereka yang lain tapi begitulah peraturannya.
Ternyata yang mengalami hal itu tak cuma aku. Seorang sorel lainnya tak terima diperlakukan demikian. Ia menangis, kupikir ia juga amat jengkel, perut yang amat lapar namun didapati makanan yang dipikir akan lezat harus berasa nano-nano. Yang menyebalkan adalah setelah kami tak mau memakan teman-teman yang lain juga dimarahi, dibentak, ‘Kalian tidak bersyukur, orang-orang yang dalam bencana itu bahkan tidak bisa makan sama sekali, ini kalian sudah ada makanan malah disia-siakan,” ujar panitia.
Setelah kejadian siang itu, kami diberi pelatihan berupa materi. Yang paling aku ingat ialah materi jurnalistik, karena sedikit aku ada basic di sana. Malamnya orang dari pusatlah yang datang, memberikan materi, motivasi, semangat berbagi, diakhiri dengan foto bersama. Dan di sana aku yang merasa adalah calon jurnalis harus bersedia untuk tidak eksis di depan kamera. Anggap saja latihan, aku yang mengabadikan foto kebersamaan itu. Benar adanya bahwa aku tak ada di dalam foto, namun akulah yang mengabadikan, toh bersama tak melulu harus terlihat bersama kan.
Setelah kegiatan selesai, kami diminta untuk kembali membangun tempat tidur namun di lokasi yang berbeda dengan malam kemarin. Hanya dalam hitungan menit kami selesai membangunnya dan disuruh istirahat sebab pagi-pagi sekali kami akan dibangunkan panitia guna mendirikan qiyamul lail dan tadarus.
Rasanya baru 2 jam aku memejamkan mata, .... (bersambung)

Komentar
Posting Komentar