“Penjarakan saja aku”
“Kau pikir enak
di penjara itu, Laila?”
“Kenapa tidak?”
“Di sana kau
akan ditemani tikus-tikus yang menggerogoti dinding.”
“Sejak kapan
kau peduli padaku? Bukankah selama ini kau yang menjadi tikus?”
“Jaga
omonganmu! Aku sumpal mulut yang seperti ember itu nanti. Mau kau Laila?”
“Ah, Majnun.
Hentikan omong kosongmu. Nanti kau meratapi lagi kematianku.”
Suasana pertegkaran itu hanya akan
berujung ketika Laila memilih untuk bungkam. Rumah tangga yang mereka impikan
selama ini hanya diwarnai keributan dan ketidak sepahaman. Laila wanita yang
kepalanya keras bagai batu. Majnun yang gilanya tak terukur oleh meteran.
Keegoisan mereka tak bisa dikilokan dengan timbangan.
“ Reinkarnasi ini membuatku kehilangan rasa
itu, Laila.”
“Ah, benarkah
itu?”
“Lihat saja,
aku tak akan menjadi orang yang sebodoh dulu lagi. Rela melakukan apapapun demi
cinta. Ah cinta, cinta pada seorang penghianat sepertimu, Laila.”
“Majnun,
Majnun.” Laila menggeleng-gelengkan kepalanya.
Semburat senyum menghiasi wajah arab
Majnun. Laila yang hanya bisa diam dan menyesali perkataannya. Bagaimanpun,
Majnun adalah suaminya. Jelek, buruknya Majnun tak lepas pula dari wanita yang
di sisinya, laila sendiri.
Aku telah dua tahun menjadi istri
tikus berdasi ini. Bergelimang dengan kemewahan, namun, hatiku terus resah.
Bagaimana nasib jabang bayiku nanti. Bila di darahnya mengalir harta yang bukan
hak baginya. Aku takut kalau bayi yang ku kandung ini menyerupai tikus. Makanya
setiap hari, aku tak luput bersujud mengadu padaNya.
“Laila, aku
lapar, mana lado tanak buatan mertuaku yang di antarkan tadi pagi?”
“Kenapa kau tau
bahwa, amak datang ke rumah tadi pagi dan membawa lado tanak? Tak
biasa pula kau pulang siang bolong begini.”
“Oh, Istriku nan
rancak, sekarang ambilkan saja aku makan siang. Nanti setelah selesai
perutku berisi silahkan wawancarai aku lagi.”
Laila bergegas menuju dapur dan
menyiapkan segalanya. Dendeng, Rendang, Ikan bilih, lado tanak serta pucuak
ubi telah bersiap untuk dilahap
Majnun. Sebagai ibu rumah tangga yang baik Laila memang sudah terlatih untuk
memasak. Jangankan masakan dari sumatra bagian barat masakan jawa, sulawesi,
kalimantanpun ia kuasai.
Dari kecil, Laila terbiasa dengan
kehidupan yang mandiri dan apa adanya. Ayahnya, Datuak Sati merupakan orang yang di dahulukan salangkah, ditinggikan sarantiang
. sedangkang ibunya Rapi’ah merupakan wanita yang taat beragama. Laila dididik
dengan keras. Meskipun Laila satu-satunya gadis di keluarga tersebut, tetap
saja Datuak Sati memperlakukan sama dengan anak yang lain.
Sehingga Laila dipinang oleh Majnun,
majnun mendapakan beratus kali penolakan. Ada saja alasan yang bisa di
buat-buat oleh keluarga Laila. Majnun pegangguranlah, Majnun belum mempunyai
akidah yang kuatlah sampai pada Majnun di tuduh pernah mengambil perawan
seorang gadis di kampung sebelah. Namun, cinta yang Majnun miliki terhadap
Laila memang besaradanya luluh juga hati Datuak Sati danmenikahkan Laila dengan
Majnun.
Perjuangan mendapatkan wanita yang
keras kepala seperti Laila membuat Majnun semakin lihai dalam menakhlukan
dirinya.Setelah menikahi Laila Ia mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang properti. Namun, tak lama perusahaan itu bangkrut dan Majnun
menjadi pengangguran lagi.
Bukan Majnun namanya jika menyerah
pada situasi. Ia mengikuti teman semasa SMAnya bekerja serabutan di kota yang
terkenal dengan buah bengkoangnya. Memang proses tak pernah menghianati hasil.
Berkat kuat dan sungguh ia bekerja ia diangkat menjadi manejer Hotel Lamak
Lalok.
Dari sinilah Majnun mengenal
tikus-tikus berdasi yang membawanya ke bisnis super power itu. Dan lailapun
menyebutnya tikus karna ia dikelilingi oleh tikus-tikus pencari untung.
“Majnun, cepat
pulang.”
“Tak biasanya
kau menyuruhku pulang cepat. Ada apa denganmu, Laila?”
“Jangan banyak
cerita, Majnun. Pulang saja lebih awal.”
“Baiklah kalau
begitu.”
Setelah bayang-bayang sama tinggi
dengan badan, Majnun pulang dengan gelisah yang tersembunyi di hatinya. Ada apa
dengan Laila? Namun, pertanyaandemi pertanyaan tidak bisa dijawabnya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam. Untunglah kau pulang tepat waktu.”
“Apa yang
harusku lakukan untukmu sekarang?”
“Bawa aku ke
rumah sakit.”
“Kau kenapa?”
“Bawa saja, kau
banyak tanya Majnun.”
Majnun langsung membawa Laila menuju
mobil yang ia parkir di halaman surau yang lumayan dekat denga rumah mereka.
Rumah mereka terbuat dari bambu, begitu sederhana namun, unik dengan ornamen
yang tak biasa dipandang mata. Apalagi dirawat oleh Laila wanita yang terbiasa
mandiri dan cekatan. Di hiasi bunga hidup menambah elegan rumah bambu yang
mereka miliki.
Suatu ketika Majnun didatangi tamu
dari negera tetangga. Ia mau membeli rumah yang dibuat langsug oleh majnun
denag susah payah. Tentu saja Laila tidak mengizinkan rumah sederhana itu
dijual berapapun harganya. Karna menurut Laila kenangan tidak dapat dibeli
dengan uang. Berat hati orang dari negara tetangga itu pergi dengan wajah masam
dan kusam.
Kejadian itu telah berlalu, tepatnya
sebulan setelah pernikahan Laila dan Majnun. Tak sedikit badai yang menerpa
rumah tangga mereka. Adapula kiriman ribut dari kampung sebelah. Namun, tak
dapat meruntahkan keteguhan yang dibangun Laila dan Majnun.
“Perutku sangat
sakit.”
“Apa kau mau
melahirkan?”
“sepertinya
begitu, walaupun prediksi dokter 13 hari lagi.”
“Baiklah, La.
Jangan banyak pikiran. Aku ada di dekatmu selalu.”
“Ah, Majnun.
Aku boleh mengatakan sesuatu?”
“Katakanlah!
La.”
“Aku rindu,
hmmm.”
“Lailaaa....
bukan saatnya aku khawatir dengan kondisimu.”
“Majnun, aku
baik-baik saja. Jangan hawatir kau seperti tidak mengetahui diriku saja.”
“Aku tau kau,
lebih tau dari diriku sendiri. Tapi, apa salahnya suami menghawatirkan istrinya
sendiri.”
Wajah Laila yang tirus serta
hidungnya yang mancung semakin terlihat indah ketika senyum dibibirnya
mengambang. Melihat tingkah laku Majnun yang sudah lama tidak seromantis dulu.
Mereka langsung menuju UGD. Tidak lama beristirahat pinggang laila terasa makin
sakit. Dan saat yang dinantikan memang telah datang. Suara bayi memecah
ketenangan dan ketegangan.
“Selamat,
Laila. Selamat, kau telah jadi wanita yang sempurna.”
“Sempurna?
Belum Majnun.”
“Bagaimana
tidak, La. Kau sekali mengandung melahirkan sepasang bayi yang tampan dan
cantik.”
“Itu bukan
apa-apa, Majnun.”
“Maksudmu?”
“Mereka akan
tumbuh dari jerih payahmu, Majnun.”
“Tentu saja.
Mereka kan anak-anakku.”
“Ku harap kau
mengerti maksudku, Majnun.”
Majnun hanya
tersenyum, melihat kekhawatiran Laila. Ada isyarat yang belum bisa
ditangkap oleh Majnun dalam perkiraan
Laila. Namun, sebenarnya apa yang ada dalam pikiran Laila sudah dipahami
Majnun.
“Siapa kita
kasih namasi kembar in Majnun?”
“Bagaimana
kalau Arni dan Ardi saja?”
“Apa makna di
balik nama itu?”
“Bukan apa-apa,
kalau kau tak setuju kita tukar lagi.”
“Menurutku,
kurang pas. Mereka kan lahir tanggal 17 Agustus.”
“Oh, iya. Aku
lupa kalau hari ini hari paling bersejarah bagi negara kita dan mereka lahir
hari ini.”
“Bagaimana
kalau kita kasih nama Karno dan Kartini saja?”
“Tidak, La.
Menurutku itu terlalu apa...”
“Lalu, siapa
akan kita kasih nama?”
“Merah dan
Putih saja.”
“Kedengaran
unik, aku setuju, Majnun.”
Kini
tujuh tahun telah berlalu. Merah dan Putih telah kelas dua SD. Semakin
pintar apalagi wajah Merah keliatan mengkopi
wajah ayahnya, Majnun. Tampan, hidung mancung mata sipit dan bibir tipis.
Sedangkan putih mengkopi wajah ibunya, Laila. Putih, hidung mmancung bulu mata
lentik dan bibir kecil.
Meskipun
kembar mereka hanya memeiliki kemiripan 35%. Tetapi cara berpikir dan cara
memandang mereka tidak jauh. Mereka dididik Laila dengan disiplin dan pandai
mensyukuru nikmat. Hidup bergelimang harta tak membuat si kembar sombong.
Rendah hati, persis ibunya.
Mengenai
ayahnya yang bekerja dalam lingkaran tikus membuat Laila sering gundah. Sering
terjadi pertikaian karna masalah tempat kerja Majnun. Selama delapan tahun
terakhir Majnun selalu memenangkan pertikaian yang berujung airmata Laila.
Haruskah wanita selalu sabar dan tunduk atas perintah lelakinya? Persetan soal
itu, Laila jadi penurut seperti sekarang semenjak bayi kembarnya mulai pandai
berbicara.
Ketika
Laila slalu melawan pernyataan Majnun, Merah berbicara “en-ti-kan, Bu.” Kaget,
amat kaget Laila melihat perkataan bayinya itu. Majnunpun begitu. Menghampiri
Merah yang duduk menyaksikan pertikaian orang tuanya melalui buaian.
“Kenapa,
Nak?” Tanya Majnun pada Merah.
“Tak,
Bu tak leh awan yah.”
“Ibu
tak melawan Ayahmu, Nak.” Laila langsung menggendong Merah dan memeluknya erat.
Ibu tak akan mengulanginya lagi sayang. Ini yang terakhir Ibu seperti ini.
Majnun menggendong Putih dan mendekati Laila dan Merah.
“Kita
adalah keluarga.” Ucap Majnun memeluk erat buah hati dan istrinya yang jelita.
“Maafkan aku belum bisa menjadi
istri yang dapat engkau banggakan, Majnun.”
“Bagiku kau telah sempurna, Laila. Jika bukan karna mulutmu yang
berpisau itu aku takakan seperti ini. Mungkin saja aku telah dirayu oleh
tikus-tikus berdasi itu. Kau tau Laila tak sedikitpun aku menelan sesuatu yang
bukan hakku. Semua yang kita nikmati adalah hasil peras keringatku. Hasil
banting tulangku setiap hari. Memang aku dikelilingi tikus-tikus berdasi tapi,
kau harus tau tak semuanya tikus di
sana.”
“
Aku percaya padamu, Majnun.”
Zaman sekarang adalah kalatidha,
dimana yang benar bisa menjadi salah begitu pula sebaliknya. Asalkan kita punya
banyak emas, harta semuanya dapat dibeli. Jangankan untuk menangkaptikus di got
menangkap tikus-tikus berdasi saja semakin sulit. Mereka begitu lihai dalam
bersembunyi, giginya semakin tajam bahkan matanya semakin besar mampu menemukan
sesuatu yang tersembunyi.
Kalatidha
ini, semua menjadi mudah kita bisa sejam dua jam sampai di langit yang
berbeda.mudah saja merenggut nyawa-nyawa yang tak berdosa. Perperangan terus
terjadi. Darah tumpah sana-sini. Mata-mata penerus bangsa dibutakan dengan
berbagai cara. Teknologi adalah panduan. Kitab suci hanya menjadi penghuni
rak-rak di gudang belakang.
Harta adalah tujuan utama kehidupan.
Harta adalah tuan yang di agungkan. Waktu, tenaga tercurah padanya saja. Bahkan
penerus bangsa diperdagangkan. Mungkin tanah ini telah tandus, tak ada sayur
yang dapat tumbuh. Bibibt-bibitnya telah usang dimakan kemarau. Sehingga barang
dagangan berganti menjadi makhluk bernyawa yang dinamakan manusia.
Meski pun begitu, keluarga yang
masih dikatakan muda ini jauh dari kata yang terdahulu. Bukan dari keluarga
yang suka memakan yang bukan haknya. Semakin tinggi sebatang pohon maka akan
semakin kencang pula angin yang akan mengguncangnya. Begitulah yang terjadi
pada keluarga Laila dan Majnun.
“Bu, kenapa teman-teman Putih di
sekolah selalubilang kalau Putih dan Merah adalah keluarga tikus berdasi?”
“Ah, mungkin mereka bercanda saja,
Putih.”
“Tidak, Bu. Setiap hari mereka
selalu bilang begitu dan Merah selalu berkata, Merah dan Putih bukan terlahir
dari noda yang hitam itu.”
“Merah benar Putih. Mereka hanya
asal ngomong.”
“Jadi, sebaiknya Putih tidak
menghiraukan mereka saja ya, Bu?”
“Benar Putih. Mustahil Ayahmu memberikan
kita makanan yang tidak halal.”
Majnun dari hari ke hari makin cemas
dengan situasi kerjanya. Semakin banyak saja tikus-tikus berdasi
yangtertangkap. Kecemasannya bukan karena dia yang ikut dalam rombongan tikus
itu tapi, karna ia berada dalam lingkungan tikus. Mau tidak mau ia pasti akan
terbawa-bawa dengan masalah yang merundung perusahaan sarang tikus itu.
Apalagi Laila, ia takut kasus yang
menimpa tempat kerja suaminya akan menyeret suaminya ke jeruji besi.
Kekhawatiran itu menjadi nyata. Suatu sore pasukan berseragam iu mendatangi
kantor suaminya. Majnun dibawa ke kantor polisi dandi jadikan saksi kunci.
Kelihaian teman-temannya membut mereka bisa bebas dalam waktu 3 hari. Sedangkan
Majnun yang tak memiliki kelihaian yang sama, hanya kejujuran yang terlontar
dari mulutnya. Karna tak adabukti yang dapat di pegang pihak berwajib Majnun
harus mendekan selama tujuh hari di sel yang dingin itu.
Majnun bebas karna jaminan Laila.wanita
yang kelihatan sendu itu memiliki jaringan yang tidak sedikit. Ia berhasil
membebaskan suaminya yang tak bersalah dengan bukti yangkuat sehingga polisi
memutuskan jika Majnun memang tidak terlibat dalam kasus yang di lakukan
kebanyakan oknum perusahaannya bekerja.
Sudah menikmati dinginnya lantai
penjara, Majnun tidak mau lagi bekerja di temppat yang di kerubungi tikus-tikus
penjilat itu. Akhirnya Majnun bekerja di sebuah rumah makan kepunyaan mamak
Laila. Dua tahun di sana Majnun memilih berhenti dan mengatakan ia ingin
pensiun muda.
“Kenapa tak
bekerja di sana lagi, Majnun?”
“Aku telah
lelah bekerja, Laila. Izinkan aku untuk pensiun.”
“hahaha....”
Derai suara tertawa Laila memecah dingin malam itu. Ia heran dengan keputusan
yang di ambil suaminya namun, tak menolak sedikitpun.
“Aku setuju
saja, Majnun tapi, ada apa kenapa kau mau pensiun?”
“Aku tak mau Merah dan Putih kecewa lagi.”
“Mereka tak pernah kecewa terhadapmu. Kalau
kau tak percaya pergilah ke kamar. Mereka sudah rindu sekali belaian kasih
sayangmu yang tak pernah kau bagi.”
“Benarkah?”
“Aku bercanda,
hahaha....”
“Kau aneh,
Sayang.” Majnun mengerutkan dahinya dan membelai rambut istrinya yang menjuntai
hingga mata kaki.
“Kau yang aneh.
Lupakah kau memiliki anak kembar yang selalu menanyakan kehadiranmu? Mereka
bagai bumi yang dilanda kemarau panjang, takada embun apalagi hujan.”
“Celaka diriku,
aku pikir mereka telah kenyang dengan asupan cinta dari Ibunya yang semakin
lama semakin ku cinta ini.”
“Ah, kau
Majnun. Kau semakin Majunu menurutku.”
“Sudahlah, akan
ku temui Merah dan Putih segera.”
Setelah
percakapan itu, hanya ada rinai yang guyuri bantal Merah dan Putih. Mereka
entah kemana tak ada mereka di kamar, di dapur, ataupun di taman. Majnun
berputar-putar kebingungan dimana si kembarnya.
“Laila, kemana
anak kita?”
“Tadi siang
mereka bermain-main di belakang rumah dan setelah itu aku menyuruhnya makan dan
istirahat di kamar. Apa tak ada mereka di kamar?”
“Tidak, lama
aku memanggil tak ada yang menyahut.”
“Biar aku yang
melihat, mungkin mereka marah padamu.” Laila menuju kamar dan tak ia temukan
anak kembarnya.”
“Kemana
mereka?”
“Aku tak tahu.”
Cemas
bercampur gundah terlihat jelas di mata sepasang suami istri itu. Ada rasa
bersalah yang di simapan di hati Majnun begitu pula laila. Mereka merasa sibuk
dengan dirinya dan tak perhatian pada titipan tuhan yang seharusnya ia jaga.
“Apa yang harus
ku lakukan sekarang Majnun? Kemana anak kita? Apa mereka kabur atau diculik
orang?”
“Jauhkan
pikiran burukmuitu, Laila. Mereka anak kita, tak mungkin pandai kabur, kau tau
sendiri betapa Merah mengagumiku sebagai ayahnya begitu pula Putih. Mereka
berdua adalah fotokopi mereka meski keras mereka tak bodoh. Aku yakin mereka
baik-baik saja.”
“Kalau benar
begitu dimana mereka sekarang?”
“Aku tak tahu,
Laila.”
“huhuhu....”
“Jangan
menagis, kau tau airmatamu itu lebih berharga dari nyawaku. Aku tak mau
mendengar tangisanmu.”
“aku khawatir
dengan keadaan putra dan putri kita, Majnun.”
“Kita akan
mencari mereka sekarang juga. Ayo lekaslah pasang jilbabmu itu.”
“Iya, Majnun.”
Ketika
melangkah keluar rumah betapa kagetnya Laila, sebuah rangkaian bunga yang
bertuliskan SELAMAT HARI LAHIR LAILA kedua anak kembarnya berkostum lebah begitu lucudan
menggemaskan. Ternyata itu adalah rencana Majnun untuk memberi kejutan
kepada Laila, istri yang selalu dapat diandalkan. Menjadi pelita di kala kelam,
menjadi payung dikala hujan.
“Selamat hari
lahir Ibu.” Serentak kalimat itu keluardari mulut si kembar.
“Kalian, kapan
ibu mengajarkan seperti ini? Ibu cemas takut terjadi apa-apa pada kalian.”
“Jangan marahi
mereka terus Laila, peluklah mereka.” Ucap Majnun.
“Aku tak marah,
hanya menasehati. Sini Sayang.” Laila mendekap erat Merah dan Putih.
“Ini semua ide
Ayah, Bu.” Ucap Putih.
“Putih kenapa
kau seperti ember? Apa kau lupa pesan Ayah kalau kita tak boleh kasih tau Ibu
ide ini dari Ayah?”
“Oh jadi, ini
ide Ayah ya anakku?”
“Sudahlah,
jangan salahkan siapa-siapa. Sekarang giliranku untuk memeluk kalian semua.”
Ujar Majnun.
ketika majnun membuka matanya dan terasa yang ia peluk itu hanya dalam bayangannya saja.
END

Huaaa.... greget Aila..
BalasHapusKerrend,
Aniwe, typonya dikurangi lage. :) <3
makasih udah menyempatkan baca kak.... :) ya kakak hehehe
BalasHapus