serpihan kaca yang lebur




Semua jiwa kini telah merapuh semenjak kepergiannya, dia bukan apa-apa bagiku hanya sebuah isyarat yang tak mampu aku artikan. Bahkan hujan tak mampu untuk meluruhkannya. Ia begitu sederhana dalam bertindak maupun bertutur menurutku tidak ada yang sempurna darinya  namun entah kenapa aku merasakan kenyamanan bila bersamanya, memandangnya, walaupun itu dari jarak yang tak bisa di katakan dekat, aku bingung kenapa perasaan itu harus mengunjungi hatiku ataukah memang sebuah takdir tidak akan lari mengejar yang lain.
Detik waktu meneriaki ku yang slalu saja tak mampu untuk tidak mengingatnya. Hari demi hari yang telah berganti serasa menoreh sembilu pada hatiku. Yang terbiasa mengenangnya dalam lamunan, yang biasa berakhir dengan tetesan airmata, air mata yang begitu mudah berderai ketika ingat senyumnya yang slalu saja punya energi tersendiri. Menarik kedua ujung bibirku ke arah yang berlawanan.
Aku sangat suka menu sarapan kali ini sepotong kenangan tentangnya yang bersemayam sunyi selama ini dalam peti yang sudah lama ku kunci. Tak sengaja seusai sujudku, aku melangkahkan kaki menuju sudut kamar yang biasanya di bersihkan oleh adikku. Ia memang terkenal anak rapi dan rajin bahkan saking rajinnya suka merapikan kamar ku juga.
Kunikmati secara perlahan sesuap demi suap masuk ke mulut ku bersilat dengan lidah kurasa memang begitu gurih beraneka ragam rasa yang semakin lama ku kunyah semakin manis namun cepat ku memahami. Semua hanyalah masa lalu yang sulit untuk terulang kembali. Kuputuskan saja berhenti mengunyah, ku tinggalkan saja tergeletak di piring biar dimakan waktu.
Dia semakin abu-abu dan perlahan benar-benar mungkin ia telah tenggelam bersama matahari kemarin. Apalagi setelah ku dengar langsung dari mulutnya, ia sudah bertunangan. Tak ada lagi yang tersisa, penantian ini  tak berharga. Selayaknya aku menyadari semua ini lebih awal. Ia berbeda dengan yang dulu, yang selalu mengukir senyum di wajah sederhana ini.
Perkataannya merobohkan tembok kokoh penantian yang ku bangun dengan derai airmata dan peluh gelisah. Aku terlanjur untuk berkata ia pemilik hatiku namun, aku harus tetap bangkit. Sebuah komitmen, sebuah destiny yang dengan apa aku bisa mengubahnya? Ia tak memilih hati yang rela luka demi jayanya. Bagai asap yang membumbung tinggi, tiada arti, tiada makna.
Terima kasih telah menjadi matahari di bumi hatiku. Menjadi rembulan di gulita hidupku. Menjadi alasan untukku melangkah lebih maju. Menjadi rindu yang tak dapat terobati dengan penantian panjang, yang terhempas dengan sebuah kata perpisahan.
Harapanku, semoga bahteranya mampu berlayar melewati rintangan yang menghadang, onak duri yang menghampiri. Aku tak akan menjadi sebutir pasir yang menghambat perjalanannya, meski teguh hati mencintainya berujung luka. Aku sadar, cinta bukan hak untuk memiliki, kadang cinta lebih kepada belajar mengikhlaskan, merelakan kebahagiaan cinta dengan yang lain.
Dia yang mengajarkan arti cinta padaku, arti kesabaran, arti menunggu, dan arti mengikhlaskan. Selamat bahagia cinta pertamaku. Aku bahagia atas kebahagiaannya dengan wanita beruntung itu, wanita yang memenangkan hatinya. Percayalah tak sedikitpun Ia lukai hati ini, J sebabaku percaya Allah tak pernah sia-sia.
Penantian panjangku seharga senyuman di hari kebahagiannya, dia menjagaku untuk tidak berbuat dosa dengan tidak berpacaran, namun di suatu sisi aku hancur karna mengetahui hatinya bukan untukku. Bahkan aku ingat kalimatnya saat aku mengungkapkan perasaanku padanya “Sekarang bukan saatnya memikirkan cinta (pacaran),sekarang saatnya bekerja fokus untuk kehidupan nantinya jangan pacaran tak ada manfaatnya”. Namun, beberapa tahun setelahnya dia menyatakan ia memilih pergi. Bukan penghianatan  hanya kebodohanku saja L. Semua mungkin sudah selesai, ya. Atau aku yang terlambat memahami semuanya memang sudah usai semenjak kepergiannya.
Maafkan aku, maafkan aku masih memiliki rasa yang dulu. Aku berjanji, ke depannya aku berusaha sekuat tenaga merelakan, mengikhlaskan kebahagiaannya dengan pilihannya. Aku di sini akan menjadi laila yang penuh semangat menggapai mimpi, mewujudkan angan dan membahagiakan orang tuaku. Sekali lagi terimakasih telah mewarnai hidupku dengan pelangi yang berujung gerimis, tapi aku yakin akan ada jalan yang Allah siapkan untuk orang sepertiku InsyaAllah berujung manis.







           

Komentar